Sejak siang di hari melihat hilal jelang puasa dan jelang lebaran, sabut kelapa itu sudah teronggok di halaman kedai Buyung Katan.
Sabut kelapa dikumpulkan dan diangkut oleh anak-anak dan pemuda dari rumahnya masing-masing, dan sebagian yang sudah terkumpul di belakang kedai tempat penyimpanan meriam yang akan dibunyikan, sebagai pemberitahuan awal puasa dan hari raya Idul Fitri.
Majelelo, gelar orang penanggungjawab meriam tersebut. Kini, Majolelo dijabat Herman Bakri. Ini gelar turun temurun dari mamak ke kemenakan sejak dulunya.
Majelelo duduk santai selepas Magrib, dan tentunya menunggu kabar dari Masjid Raya VII Koto Sungai Sariak di Ampalu, soal tampak atau tidaknya hilal tahun ini.
Masjid Raya VII Koto Sungai Sariak yang terletak di Ampalu merupakan pusat syarak atau agama di wilayah yang kini sudah jadi tiga kecamatan tersebut.
Bulan tampak, Tuanku Kadhi memerintahkan membunyikan beduk. Di kampung itu dinamakan dengan "tambuah".
Beduk itu dulunya, terdengar jauh. Sampai ke Tandikek, wilayah VII Koto yang berbatasan dengan Kabupaten Agam.
Usai beduk berbunyi, Majelelo dengan anak nagari Ambung Kapur bersiap mengelupaskan sabut kelapa yang sudah dikumpulkan.
Bersama-sama mengelupaskan sabut kelapa, yang bagian dalam kulitnya itu untuk diisikan ke meriam peninggalan Belanda, yang tentunya siap untuk didentumkan, setelah terisi mesiu.
Dulu, zaman telp dan HP belum ada, listrik belum masuk di kampung itu, meriam bisa berbunyi pukul 03.00 wib pagi, sebelum waktu imsak.
Meriam dilepas dua kali dengan rentang waktu sekitar setengah jam. Bunyi pertama di hadapkan ke utara, dan bunyi kedua ke selatan.
Seantero VII Koto, bahkan ke Malalak, Kabupaten Agam sana masih terdengar jelas, dan kuat.
Dulu itu, di tengah keterbatasan sarana komunikasi, bunyi dentuman meriam Ampang Tarok ini sangat dinanti dan ditunggu oleh masyarakat.
Bagi orang siak, semisal labai dan tuanku kampung, selalu menunggu bunyi meriam ini di suraunya masing-masing. Sebab, awal puasa harus dimulai dengan pelaksanaan Shalat Tarwih.
Kadang, sebagian labai juga ikut nimbrung dengan Majolelo sambil menunggu kabar dari Ampalu, tentang kepastian hilal tampak atau tidaknya.
Datang utusan Ampalu, para labai ini bergegas ke suraunya. Tak mesti lagi dia tunggu bunyi meriam. Sebab, sudah pasti akan berbunyi.
Tiba di suraunya, dia bunyikan beduk. Para orang tua-tua yang tengah mengantuk segera terbangun, dan pergi ke sungai, berwuduk tentunya.
"Bulan sudah tampak, kita Tarwih lagi," kata labai ini mengabarkan ke masyarakatnya setiba di surau.
"Dima tampaknyo, labai," jawab yang lain untuk ingin kepastian hilal tampak tersebut.
Jadi, peran Majelelo adalah di halaman adat dan di tepian syarak. Sebagai wilayah dan Ulayat pakai rajo, Majelelo adalah wakil dan perpanjangan tangan rajo.
Di bidang syarak, Majelelo adalah suruhan Tuanku Kadhi dalam soal penyebarluasan hilal tampak, dengan dentuman keras meriam.
Ramadhan tahun ini, sudah diputuskan, di wilayah itu hari melihat bulannya jatuh pada Minggu, sama dengan keputusan Syathariyah Padang Pariaman.
Meskipun informasi sangat cepat datang saat ini, meriam Ampang Tarok tetap dilepas dan dibunyikan setelah beduk Ampalu.